Minggu, 05 Desember 2010

Makan di Warteg Kena Pajak?

Rencana Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pemda DKI) di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo untuk mengenakan pajak 10% bagi pengunjung rumah makan yang masuk dalam kategori pengusaha kecil, termasuk warung tegal (warteg) per 1 Januari 2011 menuai kontroversi di masyarakat.

Pemda DKI berdalih, pengenaan pajak terhadap pengunjung warteg karena jenis usaha ini dinilai sudah masuk dalam prasyarat obyek pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun. Prediksinya, dengan menerapkan pajak warteg ini, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp 50 miliar. Apalagi jumlah warteg di Jakarta saat ini sudah sekitar 2.000 unit.

Bagi masyarakat awam, alasan yang disampaikan oleh Pemda DKI tersebut masuk akal karena hanya dikenakan bagi pengusaha warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun, namun apabila kita kaji lebih mendalam, maka pengenaan pajak bagi pengunjung warteg tersebut justru akan berdampak buruk terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

Memang benar, pajak hanya akan dikenakan bagi pengusaha warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta perbulan, itu artinya jika dibagi lagi berarti hanya Rp 166.000 perhari.

Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh warteg yang letaknya tidak jauh dari tempat saya kost ketika masih tinggal di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Warteg tersebut hingga saat ini sangat ramai dikunjungi pelanggannya. Meski saya tidak pernah bertanya berapa omsetnya perhari, namun bisa dipastikan omsetnya lebih dari Rp 166.000 perhari. Jadi bisa dipastikan, pengusaha warteg tersebut masuk dalam kategori yang berpenghasilan Rp 60 juta pertahun sehingga dikenakan pajak sebesar 10%. Dengan adanya pajak 10% tersebut, tentu pengusaha warteg secara otomatis akan menaikkan harga makanan dan minuman sebesar 10%, sehingga yang akan menanggung pajak dan kenaikan harga tersebut adalah pelanggannya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, pelanggan tetap warteg tersebut dan sebagian besar warteg di Jakarta adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah dan berada di bawah UMR, seperti tukang becak, bajaj, ojeg, buruh kasar, pemulung, dan sebagainya.

Masyarakat yang berpenghasilan rendah ini, memilih untuk membeli makanan di warteg tentu dengan alasan harganya yang terjangkau, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka untuk bertahan hidup. Berbeda dengan sebagian dari kita yang terkadang makan di restoran-restoran mewah bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi lebih kepada memenuhi keinginan selera. Tentu tidak adil rasanya apabila masyarakat yang berpenghasilan rendah tersebut harus ikut menanggung pajak sama seperti pelanggan di rumah makan atau restoran mewah lainnya.

Satu hal lagi yang mesti dipahami, dalam perpajakan terdapat asas equalisasi, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Pengenaan pajak terhadap pelanggan warteg jelas-jelas telah melanggar asas dalam perpajakan tersebut.

Peraturan Daerah terkait dengan pengenaan pajak restoran bagi pengusaha penyedia makanan dan/atau minuman yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering memang merupakan kewenangan dari Pemda DKI dalam rangka regulasi dan meningkatkan pendapatan daerah, namun Pemda DKI juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan daya beli masyarakat. Warteg atau warung kecil lainnya bisa dikecualikan dari pengenaan pajak tersebut. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar