Senin, 30 November 2009

Biaya Promosi dalam Bisnis Farmasi

Biaya Promosi adalah biaya yang dikeluarkan dengan maksud untuk memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian suatu produk, baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan penjualan. Oleh karenanya adalah hal yang lumrah, bahkan semestinya suatu perusahaan menjadikan biaya promosinya sebagai pengurang penghasilan bruto. Namun demikian, besarnya biaya promosi yang dikeluarkan tersebut tetap harus mengacu pada prinsip kewajaran menurut kebiasaan pedagang yang baik, apalagi kalau biaya promosi tersebut dikaitkan dengan penghitungan dan pelaporan pajak. Hal tersebut berlaku juga untuk Biaya Promosi bagi industri atau perusahaan farmasi.

Dalam prakteknya, ada berbagai mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan farmasi dalam mempromosikan produk obat-obatannya, selain dengan cara-cara umum, seperti melalui media cetak dan elektronik, perusahaan farmasi juga sering melakukan promosi melalui media lain, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Biaya registrasi, tiket pesawat, dan hotel untuk para dokter dalam mengikuti training yang berhubungan dengan produk perusahaan farmasi yang dibayarkan langsung ke panitia dan travel agent tersebut kemudian dibiayakan sebagai Biaya Promosi yang dijadikan pengurang penghasilan bruto.

Namun demikian dalam perpajakan, Biaya Promosi yang dijadikan pengurang penghasilan bruto oleh perusahaan farmasi tersebut, sering tidak diakui atau dikoreksi oleh pemeriksa pajak dalam proses pemeriksaan pajak terutangnya. Alasan pemeriksa pajak melakukan koreksi karena biaya tersebut dianggap bukan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

Menurut pemeriksa pajak, biaya tersebut dikoreksi karena dikeluarkan hanya untuk kepentingan para dokter yang mengikuti suatu seminar kesehatan dan diikuti oleh berbagai macam produsen obat, bukan khusus untuk mempromosikan produk perusahaan farmasi yang bersangkutan saja. Hal tersebut dikhawatirkan akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara. Perusahaan farmasi sendiri beralasan obat-obatan yang dipromosikan oleh perusahaan farmasi yang masuk dalam kategori ethical atau prescription product (obat resep), sesuai kode etik pemasarannya, tidak boleh dilakukan dengan cara-cara umum seperti melalui media cetak dan elektronik, akan tetapi melalui media yang bersifat ilmiah, seperti training, simposium, kongres, pertemuan, atau round table discussion bagi para dokter. Tujuannya agar setelah para dokter mengetahui kegunaan obat-obatan tersebut akan menuliskan obat-obatan tersebut pada resep untuk pasiennya.

Penjelasan dari perusahaan farmasi tersebut cukup logis, namun demikian sudah menjadi rahasia umum mengenai adanya kebijakan tertentu perusahaan farmasi kepada dokter-dokter yang meresepkan obat mereka. Modusnya bermacam-macam, mulai dari biaya mengikuti seminar sekaligus liburan ke luar negeri, hingga pemberian hadiah mobil baru. Hal ini tentu akan mendorong para dokter untuk meresepkan obat dengan harga yang relatif mahal dan memberatkan pasiennya. Di negara lain, harga obat paten paling mahal dua kali obat generik, namun di Indonesia, selisihnya bisa sampai 20 kali lipat. Oleh karenanya memang diperlukan adanya regulasi dari pemerintah untuk menjaga tingkat kewajaran Biaya Promosi tersebut menurut kebiasaan pedagang yang baik, guna menghindari hilangnya potensi penerimaan pajak Negara dan melindungi kepentingan pasien serta pelayanan kesehatan secara umum.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 104/PMK.03/2009 tanggal 10 Juni 2009 tentang Biaya Promosi dan Penjualan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa biaya promosi dan/atau biaya penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus memenuhi kriteria-kriteria seperti untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan, dikeluarkan secara wajar menurut adat kebiasaan pedagang yang baik, dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas, dan diterima oleh pihak lain.

Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur Biaya Promosi dibatasi hanya boleh dibiayakan sebanyak satu kali oleh produsen atau distributor utama atau importir tunggal. Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto juga dibatasi tidak melebihi 2% dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00. Perusahaan farmasi juga wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran Biaya Promosi yang dikeluarkan pada pihak lain. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sampel produk, besarnya biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar nilai harga pokok. Adapun tata cara pembebanan dan pelaporan Biaya Promosi ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Seperti sudah diduga sebelumnya, peraturan Menteri Keuangan tersebut dikeluhkan oleh Gabungan Pengusaha Farmasi, terutama mengenai batasan 2% Biaya Promosi dari peredaran usaha. Batasan 2% tersebut dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan rata-rata belanja promosi perusahaan farmasi di seluruh dunia yang tak kurang dari 25 persen dari peredaran usaha per tahun. Lantas bagaimana kelanjutannya? Rasanya perlu dicarikan jalan keluar yang adil, adil bukan hanya untuk perusahaan farmasi, tapi juga adil buat penerimaan pajak Negara, dan adil buat pasien atau pelayanan kesehatan secara umum. Kita tunggu kebijakan pemerintah selanjutnya.