Senin, 01 Agustus 2011

Advance Pricing Arrangement (APA)

Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke berbagai negara dan semakin tingginya tuntutan efisiensi pengeluaran, maka praktek transfer pricing juga akan terus meningkat. Setiap perusahaan multinasional tentu akan berusaha untuk meningkatkan laba atau setidaknya efisiensi dalam pengeluaran, praktek transfer pricing adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan.

Praktek transfer pricing biasanya terjadi dalam transaksi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, namun berada di negara yang berbeda. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, pemberian pinjaman, lisensi harta tak berwujud lainnya, dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa.

Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya yang berdomisili di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya yang berdomisili di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan multinasional yang berkedudukan di negara yang tarif pajaknya tinggi akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak.

Dalam dunia bisnis, transfer pricing adalah hal yang lazim, namun tidak demikian bagi otoritas pajak. Praktek transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional akan berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak bagi negara dimana perusahaan tersebut berdomisili atau memperoleh penghasilan.

Transfer pricing dalam perpajakan seperti tuyul, dia diyakini ada, bisa dirasakan kehadiran dan efeknya, namun tidak mudah untuk menemukan wujudnya dan membuktikannya.

Sebenarnya banyak hal yang telah dilakukan oleh otoritas perpajakan di berbagai negara dalam upaya mengatasi praktek transfer pricing ini, baik dengan membuat peraturan domestik yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menghitung kembali besarnya penghasilan kena pajak, maupun melalui perjanjian dan pertukaran informasi antar negara, kebijakan tax heaven country, dan Advance Pricing Arrangement.

Dari sekian instrumen yang disebutkan di atas, Advance Pricing Arrangement bisa lebih dikedepankan dari yang lainnya karena sifatnya cenderung lebih persuasif. Dalam Advance Pricing Arrangement, perjanjian bukan hanya melibatkan antara otoritas pajak di masing-masing negara terkait, namun juga secara langsung melibatkan wajib pajaknya.

Advance Pricing Arrangement (APA) atau kesepakatan harga transfer adalah perjanjian antara otoritas pajak dengan wajib pajak bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan kriteria-kriteria dan/atau harga atau laba yang wajar dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama satu periode tertentu.

Harga atau laba wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Arm’s Length Principle.

Arm’s Length Principle (ALP) atau Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding.

Tujuan dari APA ini selain untuk mengantisipasi praktek transfer pricing juga untuk memberikan sarana dan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam hal penentuan harga transfer dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dengannya. Selama dalam periode APA, otoritas pajak juga tidak perlu lagi melakukan penelitian terhadap transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sudah wajar atau belum karena harga atau labanya telah disepakati dalam APA.

Ruang lingkup APA ini bisa meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. APA dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bersifat unilateral apabila kesepakatan dilakukan antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak, sedangkan yang bersifat bilateral adalah kesepakatan antara otoritas pajak setempat dengan otoritas pajak negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Prosedur untuk melakukan APA adalah dimulai dengan inisiatif dari wajib pajak yang mengajukan permohonan secara tertulis kepada otoritas pajak setempat. Tahap-tahap yang harus ditempuh dalam pembentukan APA adalah dimulai dengan pembicaraan awal, penyampaian permohonan formal APA, pembahasan, penerbitan APA, hingga pelaksanaan dan evaluasi APA.

Jepang adalah negara pertama di dunia yang menerapkan APA pada tahun 1987 dan hingga saat ini berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, di kantor wilayah pajak Metropolitan Tokyo terdapat divisi khusus yang menangani APA. Divisi ini sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak. Praktis setelah program APA ini dilaksanakan, tidak ada sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Indonesia juga telah mengadopsi APA dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Direktur Jenderal Pajak juga telah menetapkan Peraturan Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer. Namun demikian harus diakui pelaksanaannya belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem dan prosedur teknis dan administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para aparat pajak. Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia mungkin perlu membuat direktorat atau divisi khusus yang menangani APA agar pelaksanaan APA dapat berjalan dengan optimal. Semoga.

Selasa, 05 Juli 2011

Pajak Internasional

Seiring dengan semakin meningkatnya transaksi lintas negara yang melibatkan perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke berbagai negara yang memiliki kebijakan perpajakan yang berbeda, baik dalam penentuan subyek, obyek, tarif, maupun sistem administrasinya, maka tidak dapat dihindari terjadinya pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak.

Sehubungan dengan upaya menghindari pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak, dan pengelakan pajak, maka berbagai peraturan dan perjanjian, baik yang bersifat domestik maupun internasional telah dibuat dan dilaksanakan, seperti peraturan domestik yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak di negara setempat untuk menghitung kembali besarnya penghasilan kena pajak, tax convention, tax treaty, mutual agreement procedure (MAP), advance pricing arrangement (APA), dan exchange of information (EOI).

Tax Convention atau konvensi pajak adalah perjanjian perpajakan internasional yang pertama sekali dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1921. Model ini kemudian dikembangkan dan dipakai oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menjadi OECD model. Kemudian pada tahun 1967, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB membuat perjanjian khusus untuk negara berkembang yang kemudian dikenal sebagai UN model. Konvensi-konvensi inilah yang kemudian menjadi sumber hukum dalam perpajakan internasional, seperti misalnya dalam pembuatan tax treaty.

Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih dengan membagi hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk atau resident negara lain. Tujuan dari P3B ini adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak yang timbul dari transaksi di antara kedua negara.

Mutual Agreement Procedure (MAP) atau Prosedur Persetujuan Bersama adalah forum untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan P3B. Misalnya masalah domisili rangkap, tata cara pelaksanaan dalam rangka penerapan tarif pemotongan pajak, masalah yang menyangkut interpretasi dari suatu ketentuan, dan sebagainya.

Advance Pricing Arrangement (APA) atau Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian antara otoritas pajak dengan wajib pajak bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama satu periode tertentu.

Exchange of Information (EOI) atau Pertukaran Informasi adalah fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat didalam P3B yang dapat dimanfaatkan untuk upaya pencegahan penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

Pertanyaannya, apakah berbagai peraturan dan perjanjian tersebut sudah mampu mengatasi berbagai persoalan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak, dan pengelakan pajak? Dalam batasan tertentu dan di negara tertentu, peraturan dan perjanjian tersebut telah cukup memadai dalam mengatasi berbagai persoalan perpajakan internasional, meski masih perlu dikembangkan atau direvisi sesuai dengan dinamika perekonomian internasional.

Dalam perspektif perpajakan di Indonesia, berbagai peraturan dan perjanjian yang terkait dengan perpajakan internasional juga telah dibuat dengan mengadopsi berbagai instrumen yang telah dibahas sebelumnya. Hanya saja masih banyaknya kasus dan sengketa antara aparat pajak dan wajib pajak terkait dengan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak melalui praktek transfer pricing, menunjukkan masih belum optimalnya pelaksanaan instrumen tersebut.

Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem dan prosedur administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para aparat pajak.

Terkait dengan permasalahan transfer pricing, Indonesia masih perlu belajar banyak kepada Jepang dalam mengotimalkan Advance Pricing Arrangement (APA) atau Kesepakatan Harga Transfer. Meskipun APA telah diadopsi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia, namun pelaksanaan APA ini belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Jepang adalah negara pertama di dunia yang menerapkan APA pada tahun 1987 dan hingga saat ini berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, di kantor wilayah pajak Metropolitan Tokyo terdapat divisi khusus yang menangani APA. Divisi ini sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak. Praktis setelah program APA ini dilaksanakan, tidak ada sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

(dari berbagai sumber)