Selasa, 01 Desember 2009

Transfer Pricing

Transfer pricing adalah istilah yang popular dan lazim dalam dunia bisnis, namun dalam dunia pajak, istilah transfer pricing seperti tuyul, dia diyakini ada, bisa dirasakan kehadiran dan efeknya, namun tidak mudah untuk menemukan wujudnya dan membuktikannya.

Lalu seperti apa sebenarnya transfer pricing itu? Menurut kamus ensiklopedia Wikipedia, transfer pricing refers to the pricing of contributions (assets, tangible and intangible, services, and funds) transferred within an organization. Sehingga dapat diartikan bahwa transfer pricing adalah suatu penetapan harga jual khusus dalam satu perusahaan atau grup perusahaan yang dipakai dalam pertukaran antar divisi atau anggota grup perusahaan, dengan tujuan untuk mencatat pendapatan di divisi atau perusahaan penjual dan biaya di divisi atau perusahaan pembeli.

Tujuan utama dari transfer pricing sesungguhnya adalah untuk mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan, namun dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan kemajuan perusahaan menjadi perusahaan multinasional, maka lazimnya suatu perusahaan akan mencari cara untuk meningkatkan laba atau setidaknya efisiensi dalam pengeluaran, dengan maksud itu banyak perusahaan multinasional yang melakukan praktek transfer pricing.

Transfer pricing dalam lingkungan perusahaan multinasional dilakukan dengan cara melakukan transaksi antar anggota grup perusahaan multinasional yang mempunyai hubungan istimewa. Hubungan istimewa merupakan hubungan kepemilikan antara satu perusahaan dengan perusahaan lain dan hubungan ini terjadi karena adanya keterkaitan satu pihak dengan pihak lain yang tidak terdapat pada hubungan biasa. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi harta tak berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa. Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional yang bersangkutan dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan di negara tertentu akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak. Hal tersebut tentu akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara tersebut.

Di Indonesia, untuk mengantisipasi dan mengurangi praktek transfer pricing ini, ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung kembali penghasilan atau laba fiskal dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal, apabila terdapat transaksi antara perusahaan yang merupakan Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha. Jika ada Wajib Pajak yang terbukti dengan sengaja menyatakan rugi padahal tidak, maka akan dikenakan sanksi. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan juga dimungkinkan untuk membuat perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Perjanjian ini lazim disebut Advance Pricing Agreement (APA) sebagai kesepakatan di muka atas transfer pricing untuk tujuan penghitungan objek pajak.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah penertiban terhadap tax heaven secara internasional. Tax heaven pada dasarnya adalah suatu negara yang dengan sengaja memberikan fasilitas pajak berupa tarif pajak yang rendah kepada Wajib Pajak negara lain agar penghasilan dari Wajib Pajak negara lain tersebut dialihkan ke negara mereka. Oleh karena itu pemerintah harus menerbitkan aturan mengenai kategori negara mana saja yang dimaksudkan sebagai negara tax heaven. Apabila ada Wajib Pajak yang mengalihkan penghasilannya ke negara yang masuk dalam kategori tax heaven, maka penghasilan yang dialihkan tersebut dapat dikenakan pajak atas dasar tarif yang berlaku berdasarkan ketentuan pajak di Indonesia . Hal lain lagi tentunya adalah dengan meningkatkan kecakapan maupun jumlah petugas auditor pajak.

Berbagai kebijakan dan pendekatan yang dilakukan oleh aparat pajak atas dugaan transfer pricing ini tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan keberatan dari pihak Wajib Pajak yang kemudian berlanjut ke tingkat banding di Pengadilan Pajak. Apabila sengketa tersebut sampai ke meja Hakim Pengadilan Pajak, maka merupakan kewenangan Hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti-bukti dari kedua belah pihak yang bersengketa. Pasal 76 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menegaskan bahwa Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti. Adapun alat bukti itu dapat berupa surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan para saksi, pengakuan para pihak dan pengetahuan Hakim.

Dengan demikian Majelis Hakim yang memeriksa kasus dugaan transfer pricing dapat meminta kedua belah pihak untuk menunjukkan sedikitnya dua alat bukti otentik yang mendukung alasannya masing-masing. Wajib Pajak dalam hal ini harus dapat membuktikan bahwa harga yang mereka tetapkan adalah harga yang wajar, sebaliknya pihak aparat pajak juga harus dapat menunjukkan bukti bahwa harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak adalah harga yang tidak wajar. Majelis Hakim dapat meminta kedua belah pihak yang bersengketa atau salah satu dari mereka untuk menunjukkan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor dari perusahaan-perusahaan lain yang usahanya sejenis dengan Wajib Pajak. Data pembanding diperlukan untuk mengetahui harga, biaya, dan laba kotor yang wajar. Harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak, biaya dan laba kotornya kemudian dibandingkan dengan data pembanding harga, biaya, dan laba kotor yang telah sesuai dengan asas kewajaran (arm's length principle), hingga akhirnya berdasarkan hasil penilaian pembuktian tersebut, Majelis Hakim dapat bermusyawarah dan membuat putusan.

Secondment Compensation

Apa itu Secondment Compensation? Benarkah secondment compensation merupakan pembayaran jasa profesi yang dapat dijadikan obyek Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri? Benarkah terdapat pembayaran jasa terhadap Wajib Pajak Perorangan Luar Negeri yang harus dipotong Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri?
Dalam sistem secondment arrangement, dilakukan transfer karyawan antar perusahaan untuk sementara waktu. Sebagai ilustrasi, suatu perusahaan di Indonesia, katakanlah Perusahaan X yang sedang melaksanakan suatu proyek di Indonesia dan mengalami kekurangan sumber daya konsultan, akan menggunakan atau memanfaatkan konsultan asing yang berasal dari perusahaan Y yang masih satu grup, namun berada di luar negeri atau di luar daerah pabean untuk bekerja sementara waktu di kantor Perusahaan X yang berada di Indonesia sebagai karyawan tidak tetap atau secondee berdasarkan secondment arrangement tersebut. Selanjutnya untuk pembayaran gaji secondee tersebut, tidak dilakukan secara langsung tetapi dengan sistem Secondment Compensation, dimana Perusahaan X melakukan pembayaran kepada perusahaan induk grupnya di luar negeri yang kemudian akan mendistribusikannya kembali ke Perusahaan Y yang merupakan kantor asal secondee.

Pengertian Jasa menurut Ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh karyawan Perusahaan Y ke Perusahaan X tersebut dapat dikategorikan sebagai jasa, yaitu suatu kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai.

Adapun mengenai pengertian Jasa Kena Pajak, hal tersebut dapat diketahui dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang menyebutkan pengertian Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Sementara Ketentuan Pasal 4 huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 juga mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pengertian Pemanfaatan Jasa Kena Pajak menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah setiap kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Adapun Penjelasan Pasal 4 huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 menyebutkan jasa yang berasal dari Luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan secondment compensation tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Bagaimana kalau seandainya Wajib Pajak berdalih bahwa pembayaran secondment compensation tersebut adalah termasuk penyerahan jasa di bidang tenaga kerja yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai?

Memang benar apabila kita merujuk pada ketentuan Pasal 4A ayat (3) huruf j Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa di bidang tenaga kerja.

Namun demikian ketentuan Pasal 5 huruf j juncto Pasal 14 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai menyebutkan jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut, maka jasa penyediaan tenaga kerja tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Sementara pembayaran secondment compensation yang dilakukan oleh Perusahaan X dilakukan kepada perusahaan induk grupnya di luar negeri yang kemudian akan mendistribusikannya kembali ke kantor asal secondee. Dalam pembayaran yang dilakukan oleh Perusahaan X tersebut tidak terdapat pembayaran imbalan atas jasa yang terkait dengan penyediaan jasa tenaga kerja.

Secondee adalah karyawan tidak tetap Perusahaan X dari Perusahaan Y yang berada di Luar Negeri, sehingga Perusahaan X tidak berhak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, pertanggung jawaban dari karyawan tidak tetap tersebut kepada Perusahaan X hanya yang menyangkut pekerjaan, sedangkan mengenai kepegawaian pertanggung jawabannya tetap kepada perusahaan asal mereka di Luar Negeri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsultan asing yang berasal Perusahaan Y yang berada di Luar Negeri yang bekerja untuk sementara waktu di kantor Perusahaan X sebagai pegawai tidak tetap atau secondee tersebut, tidak dapat dikategorikan sebagai jasa di bidang tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 4A ayat (3) huruf j Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Oleh karenanya pembayaran Secondment Compensation yang didasarkan pada adanya secondment agreement antara Perusahaan X dengan perusahaan afiliasinya di luar negeri dan bukan antara Perusahaan X dengan konsultan asing yang bersangkutan, berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, merupakan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Luar Negeri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Stimulus Fiskal

Usulan Paket Stimulus Fiskal dalam APBN Tahun 2009 sebesar Rp 71,3 triliun yang diajukan oleh Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, akhirnya disetujui oleh DPR. Stimulus fiskal itu mendorong terjadinya peningkatan defisit anggaran dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 139,5 triliun atau meningkat dari 1 persen menjadi 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Dana Stimulus Fiskal sebesar Rp 56,3 triliun akan digunakan untuk penghematan pembayaran pajak (tax saving), melalui penurunan tarif Pajak Penghasilan badan dan pajak orang pribadi, dan menaikkan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) sebesar Rp 43 triliun, kemudian subsidi Pajak DTP (pajak ditanggung pemerintah) dan BM DTP (bea masuk ditanggung pemerintah) kepada dunia usaha dan RTS (rumah tangga sasaran), yang meliputi insentif PPN (pajak pertambahan nilai) untuk eksplorasi migas dan minyak goreng Rp 3,5 triliun, bea masuk barang baku dan barang modal Rp 2,5 triliun, Pajak Penghasilan Pasal 21 (karyawan) Rp 6,5 triliun, dan Pajak Penghasilan panas bumi Rp 800 miliar. Sedangkan dana tambahan stimulus sebesar Rp 15 triliun akan digunakan untuk subsidi dan belanja negara kepada dunia usaha dan lapangan kerja. Hal itu mencakup subsidi solar Rp 2,8 triliun, diskon tarif beban puncak listrik untuk industri Rp 1,4 triliun, tambahan belanja infrastruktur, KUR (kredit usaha rakyat) Rp 10,2 triliun serta perluasan PNPM (program nasional pemberdayaan masyarakat) sebesar Rp 600 miliar.

Stimulus fiskal sebagai kebijakan counter cyclical ditujukan untuk menahan dampak krisis global, sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2009 diharapkan dapat bertahan sekitar 4 sampai 5 persen. Dalam rapat yang dipimpin Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah dan DPR telah berkomitmen untuk melaksanakan stimulus fiskal pada kuartal I 2009 dengan persetujuan yang cepat dan perbaikan dalam proses pencairan anggaran. Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, meyakini kebijakan stimulus fiskal yang diajukan oleh pemerintah itu dapat meminimalisir dampak krisis ekonomi global terhadap Indonesia. Alasan pertimbangannya, sebagian besar dana stimulus tersebut akan dipakai untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat.

Paket stimulus fiskal pemerintah tersebut tentu mengingatkan kita pada paket stimulusnya Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama. Paket stimulus tersebut telah disetujui oleh Kongres dan Senat AS sebesar US$825 miliar. Dana sebesar US$550 miliar akan digunakan untuk menggerakkan investasi dan sebesar US$275 miliar untuk tax cut. Komponen lain yang termasuk dalam paket stimulus itu adalah US$90 miliar untuk infrastruktur, US$54 miliar untuk mendorong produksi energi yang dapat diperbaharui, US$87 miliar untuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, dan US$79 miliar untuk pendidikan.

Adapun kebijakan tax cut ala Obamanomic adalah pemotongan pajak bagi para buruh dan masyarakat berpenghasilan rendah di satu sisi, dan di sisi lain menaikkan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan di atas USD 250,000 pertahun.

Rencana Obama untuk memotong pajak bagi masyarakat menengah ke bawah dan menaikkan pajak bagi orang kaya tersebut telah sesuai dengan asas dan fungsi pajak yang sebenarnya. Salah satu asas pemungutan pajak dalam The Four Maxims-nya Adam Smith adalah asas equality atau asas keseimbangan dengan kemampuan, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Sedangkan salah satu fungsi pajak adalah fungsi redistribusi pendapatan, dimana pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan, sehingga dapat membuka kesempatan kerja dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat umum. Namun sangat disayangkan, pemerintah kita sendiri hanya menurunkan tarif pajak wajib pajak badan dan orang pribadi di satu sisi, namun di sisi lain tidak menaikkan tarif pajak bagi orang kaya seperti yang telah dilakukan oleh Obama.

Paket Stimulus Fiskal dalam APBN Tahun 2009 sebesar Rp 71,3 triliun atau 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) tersebut, di atas kertas memang terlihat sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang memang merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara. Namun berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, apa yang ada di atas kertas, ketika masuk ke dalam tataran implementasi, akan sangat sulit untuk dioptimalkan. Masalah inefisiensi dan tidak efektifnya pengelolaan anggaran akan timbul, seperti penyerapan anggaran belanja yang rendah, tidak tepat sasaran, pemborosan, dan tingginya potensi kebocoran. Akibatnya dana yang besar akan menguap begitu saja atau terbuang percuma karena tidak memberikan dampak yang berarti bagi perekonomian bangsa, kecuali mengutungkan segelintir pihak-pihak tertentu saja.

Padahal Undang-undang Dasar 1945, tepatnya Pasal 23, sudah mengamanatkan agar anggaran dan pendapatan belanja negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahkan dalam ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga sudah ditegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Sila kelima dari dasar negara kita Pancasila adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harapan kita tentunya, semoga kebijakan stimulus fiskal pemerintah yang telah disetujui oleh DPR tersebut benar-benar bisa dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta merefleksikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.