Senin, 23 April 2012

Pengadilan Pajak di Kanada

Sebagaimana kita ketahui bersama, Pengadilan Pajak di Indonesia merupakan badan peradilan yang khusus dan unik. Meskipun Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan pembinaan teknis peradilannya dilakukan oleh Mahkamah Agung, namun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangannya dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
Di negara-negara lain juga terdapat peradilan pajak, tentunya dengan sistem yang berbeda-beda sesuai dengan sistem peradilannya masing-masing. Namun demikian, dari sekian banyak negara yang memiliki peradilan pajak, Kanada bisa disebut sebagai negara yang sistem peradilan pajaknya paling mendekati kemiripan dengan Pengadilan Pajak di Indonesia saat ini. Lantas, seperti apa Pengadilan Pajak di Kanada? Mari kita simak.
Tax Court of Canada atau Pengadilan Pajak Kanada adalah badan peradilan yang independen dari Canada Revenue Agency atau Badan Penerimaan Negara Kanada. Pengadilan Pajak Kanada didirikan pada tahun 1983 berdasarkan Undang-Undang Pengadilan Pajak Kanada dan berkedudukan di ibukota Negara, yaitu Ottawa.
Pengadilan Pajak Kanada adalah peradilan dimana Wajib Pajak Perorangan maupun Badan dapat mengajukan permohonan atas sengketa pajaknya dengan otoritas perpajakan Pemerintah Kanada. Sebagian besar sengketa banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak Kanada berhubungan dengan pajak penghasilan, pajak barang dan jasa, dan asuransi tenaga kerja.
Di Pengadilan Pajak Kanada saat ini ada 26 orang hakim, dipimpin oleh Yang Mulia Hakim Gerald J. Rip sebagai Chief Justice dan Eugene P. Rossiter sebagai Associate Chief Justice.
Sama halnya dengan Pengadilan Pajak di Indonesia, meskipun Pengadilan Pajak Kanada adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dan pembinaan teknis peradilannya dilakukan oleh Supreme Court of Canada atau Mahkamah Agung Kanada, namun administrasinya masih dilakukan oleh Courts Administration Service atau Kantor Pelayanan Administrasi Peradilan yang merupakan salah satu lembaga eksekutif Pemerintah Kanada.
Wajib Pajak yang ingin mengajukan permohonan ke Pengadilan Pajak Kanada tidak harus datang ke ibukota Ottawa, namun dapat mengajukan surat permohonannya ke registry office atau kantor-kantor registrasi yang terdapat di 11 kota di seluruh Kanada. Kantor registrasi selain di ibukota Ottawa, juga terdapat di Toronto, Montreal, Quebec, Calgary, Vancouver, hingga ke Iqaluit yang berada di daerah paling utara Kanada. Kantor-kantor registrasi tersebut berada di bawah Courts Administration Service atau Kantor Pelayanan Administrasi Peradilan. 
Selain bersidang di tempat kedudukannya di Ottawa, Pengadilan Pajak Kanada juga dapat melakukan hearing atau bersidang di luar tempat kedudukan atau di kota dan daerah lainnya yang sudah ditentukan, seperti di Toronto, Montreal, Vancouver, Quebec, Calgary, Halifax, Kingston, Winnipeg, Corner Brook, St. John’s, London, Prince Edward Island, hingga ke Iqaluit. Bahkan atas permintaan pemohon dan apabila dianggap perlu, Pengadilan Pajak Kanada juga dapat bersidang di luar kota atau daerah yang sudah ditentukan tersebut.
Pengadilan Pajak Kanada juga dapat mendengar keterangan dari Badan Penerimaan Negara Kanada terkait dengan interpretasi terhadap Undang-undang dalam wilayah yurisdiksinya.
Pengadilan Pajak Kanada, menurut Pasal 12 Undang-undang Pengadilan Pajak Kanada, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan memutus sengketa dan keterangan yang diajukan mengenai sengketa-sengketa yang timbul dari penerapan Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Asuransi Ketenagakerjaan, Bagian IX dari Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Rencana Pensiun Kanada, Undang-Undang Keamanan Orang Lanjut Usia, Undang-Undang Pajak Penghasilan atas Minyak dan Gas, Undang-Undang Ekspor dan Impor Properti Budaya, Undang-Undang Kepabeanan, Undang-Undang Biaya Keselamatan Perjalanan Udara, Undang-Undang Cukai, Undang-Undang Ekspor Produk Kayu Lunak, Undang-Undang Tunjangan Veteran Perang, Undang-Undang Manfaat yang terkait dengan Perang Sipil, dan yang dimaksud dalam bagian ke-33 dari Undang-Undang Dewan Review dan Banding Veteran.
Menurut kesimpulan Penulis, meski tidak sama persis, sistem peradilan pajak di Kanada mempunyai banyak kesamaan dengan Pengadilan Pajak di Indonesia saat ini, sehingga apabila Pengadilan Pajak Indonesia ingin melakukan studi banding dalam rangka menemukan benchmark yang sesuai dengan kedudukan Pengadilan Pajak di Indonesia saat ini, maka Pengadilan Pajak Kanada yang paling tepat.
 
Jakarta, 20 April 2012
                                                                                                                                (dari berbagai sumber)

Senin, 01 Agustus 2011

Advance Pricing Arrangement (APA)

Seiring dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke berbagai negara dan semakin tingginya tuntutan efisiensi pengeluaran, maka praktek transfer pricing juga akan terus meningkat. Setiap perusahaan multinasional tentu akan berusaha untuk meningkatkan laba atau setidaknya efisiensi dalam pengeluaran, praktek transfer pricing adalah salah satu instrumen yang dapat digunakan.

Praktek transfer pricing biasanya terjadi dalam transaksi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, namun berada di negara yang berbeda. Transaksi dalam praktek transfer pricing ini biasanya meliputi penjualan barang dan jasa, pemberian pinjaman, lisensi harta tak berwujud lainnya, dan sebagainya dengan harga khusus yang direkayasa.

Melalui transfer pricing tersebut, perusahaan multinasional dapat menggeser kewajiban perpajakannya dari anggota grup perusahaannya yang berdomisili di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi (high tax country) ke anggota grup perusahaannya yang berdomisili di negara-negara yang menetapkan tarif pajak yang lebih rendah (low tax country). Dengan praktek transfer pricing ini, suatu perusahaan multinasional yang berkedudukan di negara yang tarif pajaknya tinggi akan melaporkan rugi, sehingga tidak perlu membayar pajak.

Dalam dunia bisnis, transfer pricing adalah hal yang lazim, namun tidak demikian bagi otoritas pajak. Praktek transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional akan berdampak pada hilangnya potensi penerimaan pajak bagi negara dimana perusahaan tersebut berdomisili atau memperoleh penghasilan.

Transfer pricing dalam perpajakan seperti tuyul, dia diyakini ada, bisa dirasakan kehadiran dan efeknya, namun tidak mudah untuk menemukan wujudnya dan membuktikannya.

Sebenarnya banyak hal yang telah dilakukan oleh otoritas perpajakan di berbagai negara dalam upaya mengatasi praktek transfer pricing ini, baik dengan membuat peraturan domestik yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk menghitung kembali besarnya penghasilan kena pajak, maupun melalui perjanjian dan pertukaran informasi antar negara, kebijakan tax heaven country, dan Advance Pricing Arrangement.

Dari sekian instrumen yang disebutkan di atas, Advance Pricing Arrangement bisa lebih dikedepankan dari yang lainnya karena sifatnya cenderung lebih persuasif. Dalam Advance Pricing Arrangement, perjanjian bukan hanya melibatkan antara otoritas pajak di masing-masing negara terkait, namun juga secara langsung melibatkan wajib pajaknya.

Advance Pricing Arrangement (APA) atau kesepakatan harga transfer adalah perjanjian antara otoritas pajak dengan wajib pajak bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan kriteria-kriteria dan/atau harga atau laba yang wajar dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama satu periode tertentu.

Harga atau laba wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi Arm’s Length Principle.

Arm’s Length Principle (ALP) atau Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding.

Tujuan dari APA ini selain untuk mengantisipasi praktek transfer pricing juga untuk memberikan sarana dan kepastian hukum kepada wajib pajak dalam hal penentuan harga transfer dengan perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dengannya. Selama dalam periode APA, otoritas pajak juga tidak perlu lagi melakukan penelitian terhadap transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sudah wajar atau belum karena harga atau labanya telah disepakati dalam APA.

Ruang lingkup APA ini bisa meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. APA dapat bersifat unilateral atau bilateral. Bersifat unilateral apabila kesepakatan dilakukan antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak, sedangkan yang bersifat bilateral adalah kesepakatan antara otoritas pajak setempat dengan otoritas pajak negara lain yang menyangkut wajib pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Prosedur untuk melakukan APA adalah dimulai dengan inisiatif dari wajib pajak yang mengajukan permohonan secara tertulis kepada otoritas pajak setempat. Tahap-tahap yang harus ditempuh dalam pembentukan APA adalah dimulai dengan pembicaraan awal, penyampaian permohonan formal APA, pembahasan, penerbitan APA, hingga pelaksanaan dan evaluasi APA.

Jepang adalah negara pertama di dunia yang menerapkan APA pada tahun 1987 dan hingga saat ini berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, di kantor wilayah pajak Metropolitan Tokyo terdapat divisi khusus yang menangani APA. Divisi ini sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak. Praktis setelah program APA ini dilaksanakan, tidak ada sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Indonesia juga telah mengadopsi APA dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Direktur Jenderal Pajak juga telah menetapkan Peraturan Nomor PER-69/PJ/2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer. Namun demikian harus diakui pelaksanaannya belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem dan prosedur teknis dan administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para aparat pajak. Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia mungkin perlu membuat direktorat atau divisi khusus yang menangani APA agar pelaksanaan APA dapat berjalan dengan optimal. Semoga.

Selasa, 05 Juli 2011

Pajak Internasional

Seiring dengan semakin meningkatnya transaksi lintas negara yang melibatkan perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke berbagai negara yang memiliki kebijakan perpajakan yang berbeda, baik dalam penentuan subyek, obyek, tarif, maupun sistem administrasinya, maka tidak dapat dihindari terjadinya pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak.

Sehubungan dengan upaya menghindari pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak, dan pengelakan pajak, maka berbagai peraturan dan perjanjian, baik yang bersifat domestik maupun internasional telah dibuat dan dilaksanakan, seperti peraturan domestik yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak di negara setempat untuk menghitung kembali besarnya penghasilan kena pajak, tax convention, tax treaty, mutual agreement procedure (MAP), advance pricing arrangement (APA), dan exchange of information (EOI).

Tax Convention atau konvensi pajak adalah perjanjian perpajakan internasional yang pertama sekali dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1921. Model ini kemudian dikembangkan dan dipakai oleh negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menjadi OECD model. Kemudian pada tahun 1967, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB membuat perjanjian khusus untuk negara berkembang yang kemudian dikenal sebagai UN model. Konvensi-konvensi inilah yang kemudian menjadi sumber hukum dalam perpajakan internasional, seperti misalnya dalam pembuatan tax treaty.

Tax Treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih dengan membagi hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang berasal dari suatu negara yang diperoleh penduduk atau resident negara lain. Tujuan dari P3B ini adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak yang timbul dari transaksi di antara kedua negara.

Mutual Agreement Procedure (MAP) atau Prosedur Persetujuan Bersama adalah forum untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan P3B. Misalnya masalah domisili rangkap, tata cara pelaksanaan dalam rangka penerapan tarif pemotongan pajak, masalah yang menyangkut interpretasi dari suatu ketentuan, dan sebagainya.

Advance Pricing Arrangement (APA) atau Kesepakatan Harga Transfer adalah perjanjian antara otoritas pajak dengan wajib pajak bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama satu periode tertentu.

Exchange of Information (EOI) atau Pertukaran Informasi adalah fasilitas pertukaran informasi perpajakan yang terdapat didalam P3B yang dapat dimanfaatkan untuk upaya pencegahan penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

Pertanyaannya, apakah berbagai peraturan dan perjanjian tersebut sudah mampu mengatasi berbagai persoalan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak, dan pengelakan pajak? Dalam batasan tertentu dan di negara tertentu, peraturan dan perjanjian tersebut telah cukup memadai dalam mengatasi berbagai persoalan perpajakan internasional, meski masih perlu dikembangkan atau direvisi sesuai dengan dinamika perekonomian internasional.

Dalam perspektif perpajakan di Indonesia, berbagai peraturan dan perjanjian yang terkait dengan perpajakan internasional juga telah dibuat dengan mengadopsi berbagai instrumen yang telah dibahas sebelumnya. Hanya saja masih banyaknya kasus dan sengketa antara aparat pajak dan wajib pajak terkait dengan pengenaan pajak berganda, penghindaran pajak atau pengelakan pajak melalui praktek transfer pricing, menunjukkan masih belum optimalnya pelaksanaan instrumen tersebut.

Penyelesaian terhadap permasalahan tersebut tentu tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan keinginan kuat dan kerjasama yang lebih baik dengan pihak-pihak terkait. Masih diperlukan perubahan struktur, sistem dan prosedur administrasi, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan para aparat pajak.

Terkait dengan permasalahan transfer pricing, Indonesia masih perlu belajar banyak kepada Jepang dalam mengotimalkan Advance Pricing Arrangement (APA) atau Kesepakatan Harga Transfer. Meskipun APA telah diadopsi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia, namun pelaksanaan APA ini belum optimal. Hal ini bisa diketahui dengan masih banyaknya kasus dan sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

Jepang adalah negara pertama di dunia yang menerapkan APA pada tahun 1987 dan hingga saat ini berjalan dengan efektif. Sebagai contoh, di kantor wilayah pajak Metropolitan Tokyo terdapat divisi khusus yang menangani APA. Divisi ini sangat efektif dalam mengantisipasi praktek transfer pricing di Jepang, bahkan dapat menghindari terjadinya sengketa pajak antara otoritas pajak setempat dengan wajib pajak. Praktis setelah program APA ini dilaksanakan, tidak ada sengketa pajak yang terkait dengan transfer pricing.

(dari berbagai sumber)

Minggu, 05 Desember 2010

Makan di Warteg Kena Pajak?

Rencana Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Pemda DKI) di bawah kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo untuk mengenakan pajak 10% bagi pengunjung rumah makan yang masuk dalam kategori pengusaha kecil, termasuk warung tegal (warteg) per 1 Januari 2011 menuai kontroversi di masyarakat.

Pemda DKI berdalih, pengenaan pajak terhadap pengunjung warteg karena jenis usaha ini dinilai sudah masuk dalam prasyarat obyek pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni usaha penyedia makanan dan minuman yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun. Prediksinya, dengan menerapkan pajak warteg ini, potensi pendapatan pajak akan bertambah Rp 50 miliar. Apalagi jumlah warteg di Jakarta saat ini sudah sekitar 2.000 unit.

Bagi masyarakat awam, alasan yang disampaikan oleh Pemda DKI tersebut masuk akal karena hanya dikenakan bagi pengusaha warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun, namun apabila kita kaji lebih mendalam, maka pengenaan pajak bagi pengunjung warteg tersebut justru akan berdampak buruk terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

Memang benar, pajak hanya akan dikenakan bagi pengusaha warteg yang memiliki penghasilan Rp 60 juta pertahun atau Rp 5 juta perbulan, itu artinya jika dibagi lagi berarti hanya Rp 166.000 perhari.

Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh warteg yang letaknya tidak jauh dari tempat saya kost ketika masih tinggal di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Warteg tersebut hingga saat ini sangat ramai dikunjungi pelanggannya. Meski saya tidak pernah bertanya berapa omsetnya perhari, namun bisa dipastikan omsetnya lebih dari Rp 166.000 perhari. Jadi bisa dipastikan, pengusaha warteg tersebut masuk dalam kategori yang berpenghasilan Rp 60 juta pertahun sehingga dikenakan pajak sebesar 10%. Dengan adanya pajak 10% tersebut, tentu pengusaha warteg secara otomatis akan menaikkan harga makanan dan minuman sebesar 10%, sehingga yang akan menanggung pajak dan kenaikan harga tersebut adalah pelanggannya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, pelanggan tetap warteg tersebut dan sebagian besar warteg di Jakarta adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah dan berada di bawah UMR, seperti tukang becak, bajaj, ojeg, buruh kasar, pemulung, dan sebagainya.

Masyarakat yang berpenghasilan rendah ini, memilih untuk membeli makanan di warteg tentu dengan alasan harganya yang terjangkau, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan pokok mereka untuk bertahan hidup. Berbeda dengan sebagian dari kita yang terkadang makan di restoran-restoran mewah bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok, akan tetapi lebih kepada memenuhi keinginan selera. Tentu tidak adil rasanya apabila masyarakat yang berpenghasilan rendah tersebut harus ikut menanggung pajak sama seperti pelanggan di rumah makan atau restoran mewah lainnya.

Satu hal lagi yang mesti dipahami, dalam perpajakan terdapat asas equalisasi, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Pengenaan pajak terhadap pelanggan warteg jelas-jelas telah melanggar asas dalam perpajakan tersebut.

Peraturan Daerah terkait dengan pengenaan pajak restoran bagi pengusaha penyedia makanan dan/atau minuman yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering memang merupakan kewenangan dari Pemda DKI dalam rangka regulasi dan meningkatkan pendapatan daerah, namun Pemda DKI juga perlu mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan daya beli masyarakat. Warteg atau warung kecil lainnya bisa dikecualikan dari pengenaan pajak tersebut. Semoga.

Senin, 29 November 2010

Ketika Tagihan Listrik dan Air Dikenakan PPN

Sebagaimana kita ketahui air dan listrik adalah kebutuhan primer bagi masyarakat. Air adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia, baik untuk diminum, digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian maupun industri. Adapun listrik adalah sumber energi bagi lampu dan peralatan elektronik lainnya yang disalurkan melalui kabel. Air bersih di Indonesia dikelola oleh perusahaan air minum milik pemerintah di masing-masing daerah. Misalnya, di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengelolaan air bersih dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya), sedangkan penyedia listrik di seluruh Indonesia adalah PT PLN (Persero).

Dalam perpajakan, pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak (BKP) dan atau jasa kena pajak (JKP). Namun demikian ada pengecualian dalam Pasal 16B ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjalan Atas Barang Mewah (Undang-undang PPN) yang menyebutkan pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya untuk penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu.

Selanjutnya dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tanggal 13 Agustus 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan BKP Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN, disebutkan bahwa BKP tertentu yang bersifat strategis antara lain adalah air bersih yang dialirkan melalui pipa atau dialirkan dengan cara lain, baik oleh perusahaan air minum milik pemerintah maupun swasta; dan listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6600 Watt. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa air dan listrik sampai dengan 6600 watt tidak dikenakan PPN.

Lantas bagaimana jika ada suatu perusahaan atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bergerak dalam bidang usaha penyediaan atau penyewaan ruangan kantor, pertokoan dan apartemen melakukan pembayaran atas tagihan listrik dan air bagi para penyewanya, kemudian setiap bulannya perusahaan tersebut, selain melakukan penagihan kepada penyewa berupa biaya sewa ruangan dan service charge, juga melakukan reimbursement (penagihan kembali) atas tagihan listrik dan air sesuai dengan jumlah pemakaian listrik dan air dari masing-masing penyewa? Apakah penyediaan listrik dan air yang dilakukan oleh perusahaan tersebut kepada penyewanya merupakan penyerahan BKP atau JKP? Apakah atas reimbursement tagihan listrik dan air tersebut dikenakan PPN? Mari kita kaji secara bersama-sama.

Kita mulai dari mengaji jenis usaha perusahaan tersebut. Kegiatan usaha perusahaan yang melakukan penyediaan atau penyewaan ruangan kantor, pertokoan dan apartemen tersebut masuk dalam kategori jasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang PPN, yaitu setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.

Penyerahan jasa yang dilakukan oleh perusahaan tersebut kepada penyewa meliputi persewaan ruangan, termasuk semua kegiatan pelayanan yang menyebabkan ruangan yang disewa oleh penyewa dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh penyewa, yang di dalamnya meliputi pemeliharaan dan perawatan gedung serta peralatannya, biaya kebersihan, biaya tenaga keamanan, biaya administrasi, dan sebagainya, termasuk penyediaan listrik dan air. Dengan demikian dalam kasus ini, penyerahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut kepada penyewa adalah penyerahan jasa atau JKP, bukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003;

Oleh karena penyerahannya berupa JKP, maka nilai penggantian atas imbalan jasa persewaan ruangan, termasuk semua unsur biaya yang merupakan jasa atas kegiatan pelayanan yang menyebabkan ruangan yang disewa oleh penyewa dapat dihuni sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh penyewa, meliputi biaya pemeliharaan dan perawatan gedung serta peralatannya, biaya kebersihan, biaya tenaga keamanan, biaya administrasi dan sebagainya, termasuk reimbursement atas tagihan listrik dan air adalah dasar pengenaan pajak PPN.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa perusahaan tersebut wajib memungut PPN sebesar 10% atas kegiatan penyerahan JKP berupa persewaan ruangan yang dilakukannya selaku PKP persewaan ruangan yang didalamnya meliputi reimbursement tagihan listrik dan air.